Perkembangan kelapa sawit di Indonesia sudah tidak diragukan lagi. Terbukti pada 2014, Indonesia masih menjadi produsen Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia, dan selanjutnya disusul oleh Malaysia.
Hal ini membuktikan masih besarnya minat masyarakat untuk membudidayakan tanaman perkebunan, khususnya kelapa sawit.
Laju pertumbuhan perluasan kelapa sawit selama 2004-2014 mencapai 7,67 persen dengan produksi 11,09 persen, dan terlihat bahwa perkembangan kelapa sawit meningkat cukup signifikan.
Laju pertumbuhan perluasan kelapa sawit selama 2004-2014 mencapai 7,67 persen dengan produksi 11,09 persen, dan terlihat bahwa perkembangan kelapa sawit meningkat cukup signifikan.
Sementara itu Indonesia memiliki target untuk meningkatkan produksinya menjadi 40 juta ton pada tahun 2020.
Permasalahannya adalah, apakah dengan peningkatan tersebut dapat menguatkan Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)? Bagaimana peran sektor perkebunan kelapa sawit dalam menyikapi hal ini?
Permasalahannya adalah, apakah dengan peningkatan tersebut dapat menguatkan Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)? Bagaimana peran sektor perkebunan kelapa sawit dalam menyikapi hal ini?
Tantangan Besar Perkembangan Komuditi Kelapa Sawit
Tantangan terbesar komuditi kelapa sawit Indonesia datang dari dalam dan luar negri. Dari tantangan tersebut dapat menjadi ancaman, berupa maraknya kampaye negatif tentang kelapa sawit. Di antaranya isu lingkungan hidup, keanekaragaman hayati (biodiversity), kesehatan, pajak, penebangan hutan (deforestasi) dan anti-dumping. Bahkan dikaitkan dengan emisi karbon dan gas rumah kaca.
Tantangan juga berupa menurunnya permintaan CPO, karena negara yang memasok CPO melengalami penurunan permintaan, sebagai akibat dari melambatnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara konsumen dari CPO Indonesia.
Permaslahan tersebut harus dianaliasa secara holistik agar dapat dibuktikan kebenaranya. Studi yang dilakukan Huson (1999) menyatakan, tanaman kelapa sawit dapat menyerap Co2, secara natto lebih tinggi dari hutan hujan tropis, sehingga tidak benar bahwa kelapa sawit berisiko tinggi dalam emisi karbon.
Perkebunan kelapa sawit dikategorikan sebagai hutan oleh FAO yang mampu menyerap Co2 secara baik, sementara itu penyumbang emisi gas terbesar adalah sektor energi.
Bahkan Indonesia tidak masuk ke dalam 10 besar negara penyumbang emisi di dunia. Pendapat di atas perlu peninjauan lebih lanjut, agar tidak memperburuk anggapan negatif pada komuditi kelapa sawit di tengah masyarakat.
Isu-isu lain yang berkembang dari luar Indonesia bisa karena persaingan bisnis minyak kelapa sawit yang kian meningkat. Sementara tantangan lain dari dalam negeri yaitu petani kurang siap dalam melakukan usaha tani kelapa sawit secara profesional, rendahnya produktifitas tanaman, banyaknya bibit yang tidak berkualitas, banyaknya kelapa sawit tua yang harus segera dilakukan peremajaan (replanting), dan kurangnya pengetahuan petani dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit.
Peluang Kelapa Sawit Indonesia di Kancah Dunia
Minyak biofuel merupakan satu di antara minyak yang dihasilkan dari kelapa sawit, dan merupakan satu di antara pengganti minyak fosil yang terus berkurang waktu demi waktu.
Peran pemerintah dari tahun 80-an menjadi kunci awal dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, melalui proyek-proyek Pola PIR (Perusahaan Inti Rakyat)/ NES (Nucleus Estate Smallholders).
Kementerian Pertanian bekerjasama dengan United Nations Development Programme (UNDP), secara resmi mencanangkan platform nasional untuk Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (Sustainable Palm Oil Initiative, SPOI), yang bertujuan untuk mendukung petani kelapa sawit, agar mendapatkan penghasilan yang dapat mencukupi keluarganya, dapat meningkatkan produksi dan meningkatkan pengelolaan lingkungan.
Dukungan pemerintah serta bentuk dari konsistensi pemerintah dalam memajukan perkebunan kelapa sawit di Indonesia juga tertuang dalam UU No.18/2004, mengatur tentang usaha perkebunan, baik budidaya tanaman perkebunan maupun industri pengolahan hasil perkebunan, dengan luas dan kapasitas produksi tertentu wajib memiliki izin usaha perkebunan dari Gubernur, untuk wilayah lintas kabupaten/kota dan Bupati/Walikota untuk wilayah kabupaten/kota.
Perkebunannya juga menyediakan lapangan kerja bagi lebih dari 41 persen penduduk Indonesia, dan menjadi mata pencarian sekitar dua per tiga rumah tangga pedesaan.
Dengan demikian Industri kelapa sawit merupakan kontributor yang signifikan bagi pendapatan masyarakat pedesaan.
Data tahun 2014 memperlihatkan peningkatan luas areal kelapa sawit mencapai 10,9 juta hektare, dengan produksi 29,3 juta ton CPO. Luas areal milik rakyat (Perkebunan Rakyat) seluas 4,55 juta hektare, dan merupakan angka yang fantastis dan besar yang berpengaruh nyata pada perekonoian masyarakat atau petani Indonesia.
Solusi Indonesia menghadapi MAE?
Masyarakat Ekonomi Asean (MAE) berupa pasar bebas se-Asia Tenggara, yaitu semua orang dapat menjual barang dan jasa ke berbagai negara. Selain itu akan banyak investasi, hubungan bisnis dan perdagangan yang lebih luas antar ke sepuluh negara di Asia Tenggara.
Perkebunan kelapa sawit dan industri kelapa sawit sejauh ini berkontribusi besar dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia.
Namun apakah kelapa sawit mampu mempertahankan eksistensinya di kancah Asia Tenggara? karena untuk siap harus dimulai dari kesiapan sektor hilir dan hulu dari seluruh elemen, yang terkait pada perkebunan kelapa sawit.
Langkah yang harus disiapkan oleh Indonesia dalam hal ini antara lain adalah peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu melalui:
(1) Peningkatan produksi melalui program intensifikasi (pemupukan, penggunaan bibit bersertifikat bermutu dan atayu pemberian pupuk dan agron input lainnya dll), ekstensifikasi (memanfaatkan lahan tidur dll), dan peremajaan/ replanting (revitalisasi perkebunan)
(2) sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit nasional pemerintah bersama stakeholder dan
(3) peningkatan mutu produk melalui pelaksanaan pengembangan kelapa sawit. Tercapainya pembangunan berkelanjutan dengan standarisasi mutu produk (sertifikasi ISPO, RSPO, dll).
Dengan hal ini diharapkan Indonesia mampu menghadapai MEA mendatang dan berdapak positif terhadap kesejahteraan petani di Indonesia.
*Penulis
Shinta Anggreany, SP.,MSi
Bogor, 2016
Bogor, 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar